Peristiwa Merah Putih Manado adalah salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi di Sulawesi Utara pada tanggal 14 Februari 1946. Peristiwa ini merupakan perlawanan rakyat Sulawesi Utara terhadap tentara Belanda yang mencoba menguasai kembali wilayah tersebut setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Rakyat Sulawesi Utara, yang sebagian besar beragama Kristen, memiliki semangat nasionalisme yang tinggi dan mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak mau tunduk kepada Belanda yang mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia hanya berlaku untuk pulau Jawa dan Sumatera saja.
Namun, pada bulan Oktober 1945, tentara Sekutu bersama dengan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) datang ke Sulawesi Utara dengan dalih membantu menyerahkan kekuasaan dari Jepang kepada Indonesia. Padahal, tujuan sebenarnya adalah untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di wilayah tersebut.
Tentara Sekutu dan NICA berhasil menduduki Manado dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi Utara dengan bantuan dari sebagian pasukan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) atau tentara Hindia Belanda yang berasal dari kalangan pribumi. Mereka juga mengganti bendera merah putih yang telah dikibarkan oleh rakyat dengan bendera merah putih biru milik Belanda.
Perlawanan rakyat Sulawesi Utara terhadap Belanda dimulai sejak akhir tahun 1945. Beberapa tokoh pejuang yang berperan penting dalam peristiwa ini antara lain adalah Letnan Kolonel Taulu, Sersan Wuisan, Kapten Runtuwene, Kapten Runturambi, dan Mayor Tumundo.
Mereka membentuk barisan pejuang dan laskar rakyat yang terdiri dari mantan tentara Jepang, mantan tentara PETA (Pembela Tanah Air), mantan tentara Heiho (bantuan tempur), pemuda, pelajar, dan rakyat biasa. Mereka juga mendapat dukungan dari sebagian pasukan KNIL pribumi yang membelot dari Belanda.
Pada tanggal 7 Februari 1946, para pejuang menyusun rencana untuk menyerbu markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado. Rencana ini dilakukan secara rahasia dan hanya diketahui oleh beberapa orang saja.
Pada tanggal 14 Februari 1946, sekitar pukul 04.00 WITA, serangan dimulai. Para pejuang berhasil mengejutkan tentara Belanda yang sedang tertidur pulas. Mereka menembaki pos-pos penjagaan dan gedung-gedung markas Belanda dengan senjata api dan bambu runcing.
Pertempuran sengit pun terjadi antara kedua belah pihak. Para pejuang berjuang dengan gigih meskipun mengalami keterbatasan persenjataan dan amunisi. Mereka juga tidak gentar menghadapi serangan udara dari pesawat-pesawat Belanda yang membombardir posisi mereka.
Puncak peristiwa ini terjadi ketika para pejuang berhasil merebut bendera Belanda yang berkibar di atas gedung markas Belanda. Mereka merobek bagian biru dari bendera tersebut sehingga hanya tersisa warna merah putih seperti bendera Indonesia. Bendera merah putih itu kemudian dikibarkan di atas gedung tersebut sebagai simbol kemenangan dan keberanian rakyat Sulawesi Utara.
Peristiwa Merah Putih Manado merupakan salah satu peristiwa heroik yang menunjukkan semangat juang rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini juga menginspirasi rakyat di daerah lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Namun, peristiwa ini juga menimbulkan korban jiwa yang cukup besar dari kedua belah pihak. Diperkirakan sekitar 300 orang pejuang gugur dalam pertempuran ini, sedangkan tentara Belanda kehilangan sekitar 200 orang.
Selain itu, peristiwa ini juga menyebabkan kerusakan fisik yang parah di kota Manado. Banyak gedung-gedung dan rumah-rumah yang hancur akibat tembakan dan bom. Rakyat juga mengalami kesulitan ekonomi dan sosial akibat perang.
Meskipun demikian, peristiwa ini tidak menghentikan perjuangan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka terus berjuang hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.
Peristiwa Merah Putih Manado adalah peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang terjadi di Teling, Manado, pada tanggal 14 Februari 1946. Peristiwa ini merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara terhadap Belanda yang mencoba menguasai kembali wilayah tersebut setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa ini melibatkan himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat. Peristiwa ini ditandai dengan dirobeknya bendera Belanda menjadi merah putih dan dikibarkannya di atas gedung markas Belanda.
Peristiwa ini menimbulkan dampak positif dan negatif bagi rakyat Sulawesi Utara. Dampak positifnya adalah menunjukkan semangat juang dan keberanian rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dampak negatifnya adalah menimbulkan korban jiwa yang banyak dan kerusakan fisik yang parah di kota Manado.
Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang patut dikenang dan dihormati oleh bangsa Indonesia. Peristiwa ini juga menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia bersatu dan berjuang untuk kemerdekaan tanpa memandang suku, agama, atau daerah.
Sumber: (1) Peristiwa Merah Putih di Manado – Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/18/080000779/peristiwa-merah-putih-di-manado. (2) Peristiwa Merah Putih di Manado – Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/18/080000779/peristiwa-merah-putih-di-manado. (3) Latar Belakang Peristiwa Merah Putih di Manado dan Tokohnya – Materi …. https://www.zenius.net/blog/latar-belakang-peristiwa-merah-putih-di-manado. (4) Latar Belakang Peristiwa Merah Putih di Manado dan Tokohnya – Materi …. https://www.zenius.net/blog/latar-belakang-peristiwa-merah-putih-di-manado. (5) Peristiwa Merah Putih (Manado) – Wikipedia bahasa Indonesia …. https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Merah_Putih_%28Manado%29. (6) Peristiwa Merah Putih (Manado) – Wikipedia bahasa Indonesia …. https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Merah_Putih_%28Manado%29.
MANADO, iNews.id - Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan kisah heroik penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Kota Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Seluruh rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon dan Minahasa.
Peristiwa penyerangan ini ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas Gedung Tangsi militer Belanda sebagai bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaan.
Kisah Pidato Heroik KH Hasyim Asy’ari Merespons Pemberontakan PKI di Madiun Tahun 1948
Kronologi pergolakan ini bermula saat prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya.
Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara, terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki tentara Belanda.
Deretan Aksi Heroik TNI yang Mendunia, Nomor 3 Lumpuhkan Teroris Pembajak Pesawat
Selain itu menolak provokasi tentara Belanda yang menyatakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata
Peristiwa Merah Putih di Manado 14 Februari 1946 merupakan fakta sejarah yang paling sering dilupakan dan dikecilkan. Perjuangan ini masih dikenang, namun arti dan nilai peristiwa sedikit banyak telah terlupakan.
Aksi Heroik Serangan Umum Arek-arek Malang ke Belanda dari Markas Komando Gerilyawan
BW Lapian salah satu tokoh politisi yang ikut berperan dalam peristiwa merah putih di Manado bersama Ch Ch Taulu dan SD Wuisan menjadi dua tokoh utama pemimpin pergerakan peristiwa heroik Merah Putih 14 Februari 1946.
Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin di kalangan militer bersama Sersan SD Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil bernama Bernard Wilhelm Lapian.
Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan SD Wuisan.
Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan.
Editor: Donald Karouw
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon, dan Minahasa yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya serta menolak atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata.[2]
Berita prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya. Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.[4]
Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin dikalangan militer bersama Sersan S.D. Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil, Bernard Wilhelm Lapian. Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, Namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan S.D. Wuisan.[2] Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian, serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan. Puncak penyerbuan tersebut ditandai dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih lalu dikibarkan diatas gedung markas Belanda. Mereka juga berhasil menahan pimpinan pasukan Belanda diantaranya adalah pimpinan tangsi militer Letnan Verwaayen, pemimpin garnisun Manado Kapten Blom, komandan KNIL Sulawesi Utara Letnan Kolonel de Vries, dan seorang residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA.[6] Namun pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara.[7]
Pada awal Maret kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan KNIL yang memihak pada Belanda. Kemudian pada tanggal 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan, yang tujuan sebenarnya adalah untuk menahan para pimpinan rakyat Sulawesi Utara. Hal tersebut merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan pejuang rakyat dan mengambil alih kembali wilayah Sulawesi Utara.